“Gadis yang pikirannya sudah dicerdaskan, pemandangannya sudah diperluas, tidak akan sanggup lagi hidup di dalam dunia nenek moyangnya.” -R.A. Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang
Kartini. Siapa yang tak mengenal sosok yang satu ini? Tak hanya berparas anggun, ia juga cerdas dan berkarakter luhur.
***
Lahir di Jepara, 21 April 1879 dari keluarga bangsawan priyayi, ia merupakan sosok wanita yang berkelas dan berbudi pekerti luhur. Selama hidupnya, ia tak henti-hentinya membela kesetaraan wanita dengan pria di bumiputera.
Walau bersanggul dan berbalutkan kebaya, Kartini memiliki pemikiran yang sangat maju. Layaknya seorang wanita Belanda. Dalam darahnya memang mengalir ideologi progresif yang diturunkan dari kakek dan ayahnya.
Dia disekolahkan ke Europese Large School (ELS), tempat dimana para siswa-siswi elitis Belanda dan Jawa mengenyam pendidikan saat itu. Disini, ia menggunakan Bahasa Belanda sehari-harinya. Sehingga dia pun fasih bercakap-cakap dan menulis dalam Bahasa Belanda.
Sayangnya, ia hanya bisa mengenyam pendidikan hingga usia 12 tahun. Ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, selaku bupati Jepara memaksanya keluar dari sekolah untuk menjalani masa pingitan.
Kartini kecil merasa sangat sedih karena impian besarnya harus remuk demi mengikuti ideologi patriarki Jawa. Ia pun menghabiskan waktunya untuk membaca buku dan belajar sendiri.
***
Saat ia memasuki umur 16, masa pingitannya pun berakhir. Disini, ia mulai aktif menulis dan menuangkan ide. Ia berbicara mengenai kesenjangan antara kaum wanita dan pria di tanah Jawa.
Ia melihat bahwa wanita dipandang sebelah mata, tidak diizinkan untuk mengenyam pendidikan, dan menjadi pribadi yang bebas. Wanita dianggap seperti tukang bantu-bantu di rumah saja. Kartini merasa sangat gusar dan kecewa atas apa yang terjadi. Ia mengirimkan surat-surat berbahasa Belanda ke seluruh teman pena yang ia kenal di Belanda.
Stella Zeehandelaar, merupakan kawan pena pertama yang dia dapatkan berkat rajin menulis untuk majalah De Hollandsche Lelie. Kemudian, disusul oleh Abendanon dan van Kol bersama istrinya. Melalui goresan tintanya, Kartini berpendapat bahwa wanita pribumi pun perlu mengenyam pendidikan setinggi mungkin.
Ia menceritakan cita-cita, aspirasi, dan kritiknya terhadap Belanda dan apa yang terjadi di sekitarnya pada saat itu. Selain itu, ia juga melihat bahwa banyak wanita kalangan atas yang dipaksa menikah di umur 13 bahkan 12 tahun bersama pria yang tidak mereka kenali.
Sistem aristokrasi Jawa yang masih sangat kental saat itu hanyalah mengutamakan status dan kekuasaan, tanpa memperhatikan batasan umur seseorang untuk menikah. Ini juga merupakan sebuah ganjalan di pikiran Kartini yang telah terhipnotis oleh majunya pemikiran bangsa Eropa.
***
Cita-cita Kartini yang harus kandas karena tak dapat mengenyam pendidikan lebih tinggi, kini semakin terpuruk diakibatkan datangnya surat lamaran dari Bupati Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat.
Pada umur yang ke-24, Kartini dipinang dan akhirnya memiliki seorang putra tunggal yang bernama Soesalit Djojoadhiningrat. Sayangnya, dikarenakan mengalami sakit-sakitan, Kartini wafat beberapa hari kemudian setelah melahirkan di usianya yang ke-25 tahun.
***
Walau telah tiada, jejaknya tak hilang dari bumi pertiwi.
Kartini mendirikan Sekolah Kartini di Semarang pada tahun 1912 khusus bagi kaum perempuan. Disini, mereka diajarkan seni membatik dan menjahit.
Selain itu, surat-surat yang dikirimkan ke sahabat-sahabat penanya dijadikan sebuah buku yang berjudul Dor Duisternis tot Licht atau yang biasa dikenal dengan Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku ini tentunya menjadi saksi bahwa Kartini merupakan pahlawan bagi wanita pribumi dalam hal kesetaraan.
Ingatlah selalu wahai wanita Indonesia pesan Ibu kita yang satu ini,
“Marilah wahai perempuan, gadis. Bangkitlah, marilah kita berjabatan tangan dan bersama-sama mengubah keadaan yang membuat derita ini.” – R.A. Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang. **auh
Foto: wikimedia