Ada yang unik dari respon netizen Indonesia saat Mata Najwa Kamis lalu (20/7) mengangkat ulasan bertema 20 tahun kemerdekaan Timor Leste. Pada salah satu segmen, Najwa Shihab berbincang dengan kaum muda Timor-Leste dan pemuda-pemudi itu berkali-kali mengulang frasa: “Indonesia menjajah Timor Leste.”
Frasa itu sebenarnya bernada biasa. Setidaknya buat kaum muda Bumi Lorosae. Dalam tiap pelajaran sekolah mereka selepas tahun 2002, pastilah diajarkan bagaimana selama 1975-1999 negeri mereka memang dijajah oleh Indonesia, sebelum akhirnya menjalani referendum, pemerintahan transisi PBB (1999-2002) dan sepenuhnya merdeka pada 20 Mei 2002.
Di sisi lain, ungkapan seperti itu nampaknya tidak enak didengar orang Indonesia. Dalam beberapa komentar atas liputan tersebut, netizen Indonesia ada yang kaget dan menyangkali bahwa Indonesia pernah menjajah.
Lagi pula, dalam banyak dokumen dan ucapan resmi di Indonesia istilah “integrasi-pemisahan” memang dominan digunakan ketimbang “invasi-kemerdekaan” saat menyebut 24 tahun era Timor-Leste ‘bersama’ Indonesia.
Tidak hanya soal peristilahan. Superioritas Indonesia sering muncul dalam pertanyaan bernada evaluasi seperti: “Apakah Timor-Leste lebih maju setelah lepas dari Indonesia?” Dalam banyak segi, pertanyaan itu kerap meragukan kapasitas warga Timor-Leste untuk membangun bangsanya sendiri.
Debat soal seberapa maju setelah merdeka itu banyak muncul di sejumlah forum diskusi dunia maya. Argumen yang memojokkan Timor-Leste umumnya mengangkat rendahnya kualitas SDM, turunnya angka pertumbuhan ekonomi, minimnya infrastruktur, konflik antar faksi politik serta dikuasainya sumber daya oleh pihak asing (terutama Australia, Amerika Serikat dan Portugis).
Yang unik beberapa argumen itu, kalau boleh jujur, amat mirip dengan jawaban Pemerintahan Kolonial Belanda saat menolak proposal dan proklamasi kemerdekaan Indonesia selama era 1920-1950.
Bahkan, 20 tahun awal setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia (1945-1965), kondisi bangsa kita sebenarnya jauh lebih babak-belur konflik politik dan ekonomi ketimbang yang dialami Timor Leste selama 2002-2022 ini.
Lantas mengapa kita seolah menyangkali adanya penjajahan dan merasa bahwa saudara di Timur pulau Timor itu akan lebih baik kalau bersama Indonesia?
Hal pertama tentu sarat muatan politis. Menyebut resmi bahwa Indonesia menjajah dan Timor Leste merdeka, punya imbas soal daerah lain. Terutama terkait permasalahan Papua yang punya presenden senada.
Selain itu, ada kesadaran sejarah bahwa proses ‘integrasi’ ke wilayah Indonesia sarat sekali kepentingan politik global di masa perang dingin. Negara-negara Barat khawatir jika Timor-Timur merdeka, akan menjadi pijakan baru komunisme. Apalagi kecenderungan kekuatan politik kiri yang dominan, yang diwakili Fretilin.
Indonesia saat itu, tak lebih dari sekedar pion perdamaian. Menyelamatkan banyak kekhawatiran negara Barat. Maka, aneksasi kala itu justru didukung oleh negara-negara demokratis dunia, sebelum akhirnya ditentang kembali begitu kekuatan komunisme runtuh.
Lebih jauh, sebagai bangsa yang begitu mengagungkan kemerdekaan dari penjajahan di konstitusinya, akan sangat malu jika kita justru mengaku pernah menjajah bangsa lain.
Selain poin pertama yang imbas politiknya tetap ada sekarang dan nampaknya lebih berat bagi pemerintah Indonesia – warga negara Indonesia seharusnya sudah tidak punya beban dengan poin lain.
Perang dingin telah usai. Sama seperti reunifikasi Jerman, bubarnya Uni-Soviet dan pecahnya negara-negara Eropa Timur, penjajahan Indonesia atas Timor-Leste pun harusnya diakui saja sebagai kenyataan yang telah lewat.
Kita pun tak perlu denial, jika sempat tidak konsekuen dengan komitmen anti-penjajahan. Nasionalisme yang sehat, mengutip Ben Anderson, perlu sesekali diinjeksi dengan rasa malu yang cukup, agar tidak melampaui batas. **bdjt
Foto: Toronto Star