Kalau ada kontes duta buku diantara para tokoh pejuang kemerdekaan kita, rasanya yang paling pantas jadi juaranya adalah Mohammad Hatta.
Bukan berarti tokoh-tokoh lain tidak gemar membaca atau mengoleksi buku. Soekarno, Sjahrir, Amir Sjarifuddin, Tan Malaka, TB Simatupang dan banyak tokoh lain adalah para kutu buku. Namun, tak ada dari mereka yang menjadikan buku sebagai mas kawin, atau membawa peti-peti penuh berisi buku selama dibuang ke pengasingan.
Benar, saat dibuang ke Banda Neira, Boven Digul hingga ke Sukabumi, pahlawan yang lahir pada 12 Agustus 1902 ini membawa sebanyak 16 peti buku. Demikian pula, meski berasal dari keluarga saudagar yang cukup berada, mas kawin Hatta untuk Rahmi Rachim bukan berupa permata atau uang. Namun sebuah buku tulisannya sendiri, yang berjudul: Alam Pikiran Yunani.
Kecintaannya pada buku itu yang membuat Hatta cukup produktif dalam menulis. Sepanjang masa pergerakan, pembuangan, hingga ia menjalani masa pensiun sebagai wakil presiden Hatta banyak menulis tema-tema ekonomi, isu sosial politik hingga pendidikan.
Pria yang lahir dengan nama Mohammad Athar ini adalah pembelajar sejati. Hampir seluruh masa mudanya diisi dengan ragam bacaan. Putri sulungnya Meutia Hatta, pernah memberi testimoni bahwa Hatta rutin membaca sekitat 6-8 jam sehari.
“Semua bukunya dibaca. Beliau bukan jenis orang yang membeli buku untuk dipajang saja,” ungkap Meutia sebagaimana dikutip BBC. Buku yang paling diminati Hatta adalah buku ekonomi, yang koleksinya meliputi buku tentang ekonomi sosialis, komunis hingga kapitalis dari Belanda sampai Cina.
Pria asal Bukittinggi ini juga menaruh minat baca pada hukum, hubungan internasional, sejarah, biografi, ilmu sosial, kajian Islam dan sastra. “Beliau sangat menghormati Mahatma Gandhi. Ada satu rak untuk menyimpan buku-buku khusus tentang Gandhi,” tambah Meutia.
Pembelajar sekaligus Pengerja
Namun, jangan mengira Hatta sebagai manusia yang tinggal di menara gading bacaan.
Benar, ia memang terbilang polos dalam pergaulan muda-mudi, terutama dalam hubungan dengan lawan jenis. Tapi soal pergerakan dan aktivitas politik, Hatta adalah seorang ahli strategi yang mumpuni.
Pergerakan politik ia mulai sewaktu bersekolah di Belanda dari 1921-1932. Hatta masuk organisasi sosial Indische Vereeniging atau (Perhimpunan Indonesia). Tahun 1926, ia menjadi pimpinan lembaga ini dan mengubah fokus perjuangannya dengan semakin memperhatikan perkembangan pergerakan di Indonesia dan menulis di media massa Nusantara, mereka juga menjalin kerja sama internasional dengan ragam organisasi yang menentang imperialisme.
Aktivitas Perhimpunan Indonesia merupakan salah satu alasan mengapa nama Indonesia secara meluas dikenal di pergaulan internasional. Itu pula yang menggiringnya pada sejumlah penahanan dan pembuangan.
Tak hanya sebagai aktivis pelajar, di masa pergerakan Nasional ia kemudian aktif menjadi tandem Soekarno yang lebih berfokus pada kaderisasi. Demikian pula saat dalam perumusan kemerdekaan dan perundingan internasional. Hatta selalu memegang peran penting dalam strategi dan negosiasi.
Salah satu yang paling diingat adalah peran negosiasinya dalam penghapusan tujuh kata dalam piagam Jakarta, yang akhirnya disetujui semua kalangan.

Warisan tersembunyi
Selain sebagai proklamator, Hatta juga dikenal sebagai bapak koperasi Indonesia. Tulisan-tulisan ekonominya memang banyak menyorot hal ini. Baginya koperasi merupakan aplikasi modern yang paling sesuai dengan ciri masyarakat kita.
Namun, mungkin sedikit yang juga mengetahui peran Hatta sebagai bapak Palang Merah Indonesia. Atau sebagai ketua Panitia Lima di tahun 1975 yang mengurai Pancasila dari alam pikir dan suasana batin para penyusun UUD 1945.
Tidak banyak pula yang mengerti latar mengapa penghargaan anti korupsi pada tokoh nasional diembankan pada namanya, yaitu Penganugerahan Bung Hatta Award.
Hatta dikenal sebagai tokoh yang sangat bersih dan anti korupsi. Ia pernah memaksa mengembalikan sisa uang pengobatan yang telah dibiayai oleh negara karena ia pernah menjabat sebagai wakil presiden.
Juga di masa pemerintahan Soeharto ia dipercaya menjadi penasehat di Komisi 4 yang merekomendasikan pada pemerintah soal penanganan korupsi di berbagai lembaga negara. Sayang, tim itu tak berumur lama. Di bulan Juni 1970, hanya lima bulan setelah keberadaannya, tim itu dibubarkan lagi oleh presiden tanpa pernah dikerjakan sungguh-sungguh rekomendasinya. **RS
Foto: Twitter/Potretlawas