Press "Enter" to skip to content

SAE Nababan Pendeta di Lima Zaman

Pertengahan Agustus (15/8) lalu, Pdt. Dr. Soritua Albert Ernst (SAE) Nababan, LLD meluncurkan buku berisi catatan perjalanannya yang bertajuk Selagi Masih Siang. Acara yang berlangsung secara virtual itu dihadiri sejumlah tokoh nasional. Sebagian dari mereka juga memberi testimoni.

Namun, nama SAE Nababan mungkin terbilang asing bagi generasi terkini. Tak jarang, lingkup yang lebih spesifik seperti pemuda Kristiani atau bahkan kaum muda gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), asal gereja sang pendeta, tidak lagi begitu kenal namanya.

Soritua Nababan mungkin lebih banyak diketahui generasi jelang era reformasi. Baik oleh warga jemaat HKBP, maupun para aktivis demokrasi kala itu.

Secara nasional, pendeta kelahiran Tarutung 24 Mei 1933 ini adalah satu dari beberapa tokoh yang cukup kritis terhadap Orde Baru, terkait persoalan kemanusiaan, hukum dan keadilan. Sementara di lingkup kekristenan, ia dikenal sebagai pimpinan di DGI/PGI, lembaga pemersatu gereja-gereja Protestan di Indonesia juga gerakan kekristenan se-dunia.

Irisan kedua peran itu sangat kentara di era 1980-1990-an, saat SAE Nababan menjadi pimpinan HKBP, sinode gereja dengan jumlah anggota jemaat terbesar di Asia Tenggara kala itu.

Seperti banyak pemimpin komunitas yang kritis pada Orde Baru, ia sempat merasakan intervensi rezim Soeharto di jemaat yang dipimpinnya. Dualisme kepemimpinan HKBP sepanjang 1992-1998 terjadi karena Orde Baru memaksakan kepengurusan yang lebih tunduk pada penguasa.

Alissa Wahid, putri sulung Gus Dur memberi testimoni bahwa sama seperti yang dialami ayahnya di tubuh Nahdlatul Ulama (NU), Pdt. Nababan dan HKBP juga dipaksa untuk tunduk pada totaliterianisme Orde Baru. Namun, Alissa mengaku bersyukur sekali kedua tokoh progresif ini, dengan jalan masing-masing, bisa menghadapi tekanan itu dengan kekuatan spiritual.

Baca juga:  Kapitan Pattimura: Pelopor Lahirnya Para Pattimura Muda

“Itu adalah momen ketika para pemimpin agama bisa bersuara melawan penindasan dan menyerukan keadilan. Di sini pemimpin umat tidak lagi berdiam di menara gadingnya. Namun, mempraktikan kekuatan etika spiritualnya sebagai daya pendorong untuk melawan ketidakadilan dan penindasan,” puji Alissa.

Kita tahu akhirnya Soeharto lengser dan HKBP bisa melakukan rekonsiliasi. Namun perjuangan Pdt. Nababan selama masa sebelum reformasi kala itu bukanlah perjuangan sektarian semata. Di baliknya, ada kerja panjang yang berjejaring dengan sekian banyak elemen yang pro pada pembaruan.

Krisis HKBP, telah menempatkan jemaat yang dipimpin SAE dalam posisi yang kritis pada pemerintah, juga cukup dekat dengan kelompok-kelompok pro-demokrasi.

Peran gereja pun terlihat saat pria lulusan program doktoral Heidelberg University ini mendorong pertemuan para tokoh nasional dalam agenda reformasi. Hal yang kemudian berbuah Deklarasi Cianjur yang kesepakatannya banyak diadopsi sebagai agenda Reformasi nasional.

Bagi Pdt. Nababan memang demikianlah sejatinya tugas gereja dan umat beragama.

SAE Nababan

“Gereja tidak boleh diam kalau terjadi ketidakadilan, kalau terjadi perkosaan hak asasi manusia, kalau terjadi pembatasa kebebasan. Gereja harus bersuara, untuk itu gereja ada, kalau tidak begitu tidak ada gunanya,” tegasnya dalam suatu kesempatan.

Lewat Lima Zaman
Akan tetapi era Reformasi boleh dikatakan adalah proses paling belakangan yang dialami Pdt. Nababan. Sebelumnya di era Orde Lama dan Orde Baru, ia pun telah ada dalam posisi yang cukup strategis sebagai suara kekristenan yang cukup vokal menyerukan semangat persatuan, dialog terbuka antar agama, penghargaan atas kemanusiaan serta upaya mengatasi kesenjangan sosial.

Di masa yang lebih muda, SAE terlibat dalam bela negara lewat Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI). Ia sempat memanggul senjata bahkan menjadi penyelundup untuk memperoleh senjata di masa agresi militer Belanda.

Baca juga:  Lewat Demonstrasi Buruh, Muchtar Pakpahan Membuka Keran Demokrasi

Sama seperti rekan seusianya, ia pun mengenyam pendidikan dalam tiga era di zaman kolonial Belanda, masa fasisme Jepang, hingga masa-masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

Masa yang panjang dan tak jarang penuh tekanan serta tantangan itu agaknya membentuk pribadi SAE Nababan sebagai tokoh yang amat matang. Dikenal disiplin dan sangat rinci, pendeta yang kini berusia 87 tahun itu sebenarnya punya segudang teladan kiprah dan pemikiran untuk diangkat.

Sejumlah penghargaan yang diterima, termasuk yang paling baru, salah satu tokoh ikon prestasi Pancasila 2020 dari BPIP, memang pantas diberikan.

Dalam catatannya Selagi Masih Siang, kepingan-kepingan teladan tersebut tersaji untuk diceritakan. Rasanya generasi muda, tak terbatas pada pemuda Kristiani, bisa menangguk banyak pelajaran berharga dari orang yang telah melewati lima zaman ini. **RS