Press "Enter" to skip to content

Mengingat Kembali Krisis Finansial Asia 1997

Tanggal 2 Juli 1997 bencana itu dimulai. Di hari itu pemerintah Thailand dengan terpaksa memutuskan untuk mengambangkan nilai mata uang baht.

Thailand saat itu menanggung beban utang luar negeri yang besar. Negeri gajah itu bisa saja dinyatakan bangkrut sebelum nilai mata uangnya jatuh.

Saat krisis ini mulai menyebar, nilai mata uang di sebagian besar Asia Tenggara dan Timur, demikian pula bursa saham dan nilai aset lainnya jatuh. Utang swastanya naik drastis.

Para pengamat ekonomi saat itu sebenarnya tidak menduga Indonesia akan terkena dampak parah dari krisis finansial ini. Umumnya Indonesia dinilai berbeda dengan Thailand sebab memiliki inflasi yang rendah, surplus neraca perdagangan lebih dari US$900 juta, cadangan devisa cukup besar, dan sektor perbankan masih baik-baik saja.

Sampai bulan sebelumnya, Juni 1997, nilai tukar rupiah terhadap dolar masih sangat stabil dan kuat, hanya Rp 2.380 per dolar.

Meski demikian, di tahun-tahun sebelumnya, cukup banyak perusahaan Indonesia yang meminjam dalam bentuk dolar. Karena sebelum 1997 memang tercatat bahwa rupiah menguat atas dolar Amerika. Maka asumsinya pinjaman dalam bentuk dolar dianggap jauh lebih murah.

Kondisi ini berkelindan dengan mulai rontoknya kepercayaan pasar akibat situasi politik yang mulai berubah karena praktik kapitalisme kroni yang berkembang di akhir orde baru. Utang luar negeri yang segera jatuh tempo juga menjadi faktor pemberat, apalagi umumnya utang tersebut tidak dipakai untuk menghasilkan devisa.

Pada waktu bersamaan situasi perdagangan internasional kurang menguntungkan, dan bencana alam La Nina membawa kekeringan parah, termasuk di beberapa daerah industri perkebunan Indonesia.

Indonesia, Korea Selatan, dan Thailand adalah negara-negara yang terkena dampak krisis terparah. Dampak yang cukup besar juga dirasakan Jepang, Hong Kong, Laos, Malaysia, dan Filipina.

Baca juga:  Lawan Bosan, Kamu Bisa Lakukan Ini Saat Physical Distancing

Sementara Brunei, Tiongkok, Singapura, Taiwan, dan Vietnam meski tidak terlalu mengalami krisis, namun sama-sama merasakan turunnya permintaan dan kepercayaan investor di seluruh Asia.

Lebih jauh negara seperti Rusia, Brazil dan Argentina pun terkena dampak tak langsung dari krisis ini, karena bank dunia enggan meminjamkan uang pada negara yang ekonominya belum tergolong maju.

Di Indonesia saat itu sangat populer istilah krisis moneter atau yang sering disebut dengan akronimnya krismon. Sejak Agustus 1997 hingga awal 1998, bola liar krisis sangat terasa. Situasi itu dirasakan oleh perbankan dan banyak sekali sektor industri.

Hampir semua pengusaha memilih untuk menyelamatkan kekayaannya, serta menghentikan sementara investasi. Jumlah pengangguran pun meningkat bersaaman dengan mulai terjadinya kelangkaan barang konsumsi.

Ini kemudian berpengaruh pada kondisi sosial-politik yang melahirkan gerakan reformasi, hingga jatuhnya pemerintahan Soeharto pada Mei 1998.

Hal serupa juga dialami Thailand. Perdana Menteri Thailand Chavalit Yongchaiyudh justru jatuh lebih awal pada November 1997.

Krisis ini juga mengubah kultur berbisnis di Asia. Kebiasaan bisnis yang mengandalkan ikatan kekeluargaan mulai berganti sepenuhnya dengan kontrak modern.

Ini pula yang menjadikan Tiongkok kemudian semakin maju dan menjadi kekuatan ekonomi baru di Asia. **RS

Foto: Reuters/Patrick De Noirmont