Kuliner di Bali memang sudah amat beragam sekarang. Di Pulau Dewata hampir semua makanan dari penjuru dunia bisa ditemukan. Demikian pula makanan khas Bali.
Namun, rasanya tidak ada yang menggantikan peran sentral lawar dalam kehidupan kuliner Bali. Menu berupa campuran sayur-sayuran dan daging cincang yang dibumbui secara merata ini tidak hanya dimakan dalam keseharian atau dalam wisata kuliner, tapi juga punya peran penting dalam ritual keagamaan, terutama saat hari raya Hindu-Bali.
Lawar biasanya bukan sesuatu yang langsung dicari wisatawan saat berburu makanan. Beberapa orang mungkin tidak berani mencoba lawar karena kesannya mentah, atau punya keberatan atas konsumsi darah atau daging babi.
Padahal, lawar amat beragam. Bahkan para penjaja makanan ini biasanya sudah sangat terbiasa menyesuaikan olahan lawar sesuai dengan referensi dan pantangan para penikmatnya. Lawar putih, lawar nangka atau lawar ayam adalah contoh-contoh bentuk lawar yang bisa dimakan banyak orang.
Bahan dasar lawar adalah daging yang dicincang dan sayuran. Yang kompleks adalah bumbu-bumbunya. Dalam bahasa Bali disebut bumbu lengkap untuk lawar disebut base genep. Butuh waktu lama untuk meraciknya.
Bumbu dasar seperti bawang merah, putih, dan cabai rawit, diiris kemudian digoreng sampai matang. Selain itu ada bumbu halus, yang disebut kesuna cekuh. Disini bumbu dasar ditambahkan umbi, merica, dan kemiri lalu ditumbuk dan digoreng.
Ada pula tambahan lainnya seperti terasi yang dihancurkan dan digoreng, gula merah, garam, limau, kelapa parut dan lainnya. Semuanya kemudian dimasak jadi satu. Penggorengannya harus matang namun tidak boleh gosong sama sekali.
Beberapa jenis lawar diberikan unsur yang dapat menambah rasa berupa darah dari daging yang digunakan di lawar. Darah tersebut dicampurkan dengan bumbu-bumbu tertentu sehingga menambah lezat lawar tersebut.
Lawar, terutama yang menggunakan darah, biasanya hanya bisa bertahan setengah hari dan memang biasanya dibuat untuk sekali makan.
Dalam spiritualitas Bali, lawar adalah representasi paling baik untuk harmoni dan keseimbangan. Beragam unsur, warna, aroma dan rasa bisa diracik jadi satu menu yang lezat. Tidak ada yang menyingkirkan yang lain, semuanya menyatu.
Lawar bahkan bukan sekedar menu sajian komersial. Konon, tangan pembuat lawar harus tetap hangat saat meracik bumbu.
Maka sajian ini pun bukan sekedar salad untuk memuaskan perut dan kebutuhan gizi, tapi keramahtamahan dan penerimaan dari penyajinya. **RS
Foto: Tribunnews