Press "Enter" to skip to content

Hanya Ada Satu Jenderal: Sudirman

“Tidak. Aku cuma mau ke makam Jenderal Sudirman.”

Itu adalah sepenggal dialog dalam film Nagabonar Jadi 2. Di adegan itu Nagabonar tua (diperankan Deddy Mizwar) minta diantar ke makam Jenderal Sudirman.

Umar, si sopir bajaj, mencoba menawar agar Nagabonar berkunjung ke makam jenderal lain saja, atau bertemu jenderal yang masih hidup. Namun, Nagabonar berdalih bahwa dirinya juga jenderal dan ia hanya menghormati Sudirman sebagai satu-satunya pemimpin militer.

Meski dikemas dengan humor, apa yang ditunjukkan di adegan itu memang menjadi relung hati terdalam hampir semua pejuang republik di masa awal kemerdekaan. Tidak peduli berasal dari kesatuan kelaskaran, bekas didikan KNIL atau bekas PETA, semua menaruh hormat yang besar, pada pria kelahiran Purbalingga ini.

Saat Guru Menjadi Tentara
Sejatinya di depan nama dengan ejaan lama, Soedirman, jenderal yang satu ini masih punya gelar raden. Gelar ini disandang karena sejak kecil ia diadopsi oleh pamannya, Raden Tjokrosunarjo, yang seorang camat. Sudirman baru diberitahu bahwa ia diadopsi, saat berusia 18 tahun, itu yang kemudian membuatnya enggan memakai gelar.

Dalam catatan keluarga, Sudirman disebutkan lahir dari pasangan Karsid Kartawiradji dan Sijem, pada hari Minggu Pon, bulan Maulud dalam penanggalan Jawa. Lewat perkiraan usia terdekat, tanggal 24 Januari 1916 ditetapkan sebagai ulang tahun resminya.

Dirman kecil aktif di lingkungan Muhammadiyah Cilacap, terutama gerakan kepanduannya, Hizboel Wathan. Ia pun dididik oleh sekian banyak tokoh nasionalis religius. Sampai akhir tahun 1937 kehidupannya tidak jauh dari mengajar di sekolah, kegiatan keagamaan dan kepanduan.

Penjajahan Jepang lah yang mengubah jalan hidup Dirman. Ia bergabung dengan PETA, lalu menjadi komandan untuk wilayah Kroya, Banyumas.

Baca juga:  Robert Ramone untuk Alam dan Budaya Sumba

Posisi itu yang kemudian memudahkannya untuk ikut membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR), kemudian menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di wilayah Banyumas dan dipercaya memimpinnya.

Sempat Diragukan
Sudirman sebenarnya sudah terpilih sebagai panglima lewat voting para pemimpin wilayah TKR pada 12 November 1945.

Namun, keputusan rapat itu sulit diterima oleh Menteri Pertahanan, Amir Sjarifuddin yang cenderung percaya pada orang-orang didikan militer Belanda ketimbang militer Jepang. Perwira PETA seperti Sudirman, dianggap masih terbatas pengalaman dan pendidikan militernya.

TKR Divisi Banyumas yang dipimpin oleh Sudirman sebenarnya bukan tanpa prestasi, sebelum pemilihan tersebut. Pelucutan senjata dari prajurit Jepang yang berlangsung baik, telah membuat divisi ini sebagai salah satu unit dengan persenjataan terbaik. Mereka pun berhasil mengusir tawanan perang Belanda yang dipersenjatai Inggris dari wilayah Ambarawa.

Namun bukti terbaik ada ada di rentang antara pemilihannya di rapat pimpinan TKR tadi hingga sebelum ia resmi dilantik.

Dalam peristiwa yang dikenal sebagai Palagan Ambarawa di akhir 1945, pasukan Sudirman berhasil mengalahkan dan memukul mundur prajurit Sekutu yang menduduki kota tersebut. Kelak momen ini diabadikan dalam Hari Infanteri atau Hari Juang Kartika, setiap tanggal 15 Desember.

Selepas itu tidak ada lagi yang meragukan kemampuan militer Sudirman. Ia dipandang layak menjadi jenderal pertama di tubuh militer Indonesia.

Jenderal Sudirman
Jenderal Soedirman tiba di Jakarta pada tanggal 1 November 1946/Wikipedia. Dok.

Memimpin Perang dengan Satu Paru-paru
Sebagai prajurit tulen, Jenderal Sudirman tidak selalu sejalan dengan para pemimpin sipil saat merumuskan taktik perjuangan melawan Belanda. Meski begitu, ia selalu menaati apa yang telah disepakati pemimpin negara.

Perselisihan terbesar adalah saat ia memilih perlawanan total lewat perang gerilya, sementara presiden Soekarno memilih untuk berdiplomasi dengan membiarkan dirinya dan sejumlah kabinet ditawan saat Belanda menyerbu Yogyakarta pada 19 Desember 1948.

Baca juga:  Lewat Demonstrasi Buruh, Muchtar Pakpahan Membuka Keran Demokrasi

Gerilya bagi Soedirman kala itu bukanlah hal mudah. Sudah sejak beberapa bulan sebelumnya sang jenderal mengidap tuberkolosis. Praktis, selama masa gerilya ia memimpin perang dengan paru-paru yang hanya berfungsi sebelah.

Hebatnya, berkali-kali ia berhasil menghindari kejaran. Bahkan militer dengan sumber daya seadanya, masih mampu memberikan pukulan pada wilayah yang dikuasai Belanda.

Yang paling terkenal tentulah Serangan Umum 1 Maret 1949. Bukti bahwa tentara Indonesia masih tetap ada. Serangan ini juga mendorong tekanan diplomatis bagi Belanda, hingga disepakati perjanjian Roem-Royyen pada 14 April 1949.

Jenderal Soedirman
Jenderal Soedirman ditandu saat gerilya/historia. Dok.

Sudirman sebenarnya tidak setuju dengan gencatan senjata yang dimandatkan perjanjian ini, mengingat Belanda selalu melanggar kesepakatan di perjanjian sebelumnya. Apalagi saat itu sang jenderal yakin militer Indonesia sudah lebih kuat.

Namun, ia mengalah. Gencatan senjata seluruh Jawa mulai berlaku di Agustus 1949. Bersamaan dengan itu, kesehatan Sudirman semakin menurun. Ia kemudian dirawat di Magelang pada bulan Desember.

Saat Belanda akhirnya mengakui kedaulatan RI pada 27 Desember 1949, ia tidak dapat hadir dalam pelantikannya sebagai panglima besar TNI untuk Republik Indonesia Serikat.

Selang sebulan kemudian, 29 Januari 1950, ia pun menghembuskan nafas terakhir. Menutup cerita sebagai panglima besar dan satu-satunya jenderal di mata semua pejuang kemerdekaan. **RS