Dari banyak sisi, Prabowo Subianto memang seorang bintang. Lahir dari keluarga terpandang, cemerlang dalam karir, serta punya ambisi besar untuk sukses.
Namun, dalam sepak terjangnya di dunia militer, bisnis, politisi dan kini sebagai pejabat publik, pria kelahiran Jakarta lebih dari 68 tahun lalu itu sering pula mengayun kontroversi.
Orang mungkin masih ingat celoteh-celoteh saat Prabowo naik kuda sembari memakai keris saat kampanye Partai Gerindra jelang Pilpres 2014.
Saat itu santer disebut bahwa ia keturunan pengawal setia dan kerabat Pangeran Diponegoro. Namun, tak lama kemudian, “kubu capres sebelah” membantah dengan informasi kebalikan, justru Prabowo adalah keturunan orang yang ikut menumpas perlawanan sang pangeran.
Faktanya, kedua informasi itu justru sangat mungkin sama-sama benar.
Dari garis ayah, Sumitro Djojohadikusumo, Prabowo memang terkait dengan Raden Tumenggung Kartanegara, atau Banjak Wide. Juga dengan Raden Mas Adipati Djojodiningrat, atau yang lebih dikenal dengan nama mudanya Djojoprono.

Keduanya adalah hulubalang yang masih berkerabat dengan Pangeran Diponegoro dan setia mengawal tokoh sentral perang Jawa tersebut.
Namun, dari garis ibu, Dora Sigar, keluarga ini juga terkait dengan Kapitan Langowan, salah satu pemimpin prajurit Minahasa, yang diajak Belanda berperang melawan para pejuang Selarong.
Di masa sekarang, yang sudah terselang ratusan tahun, tentu hal ini wajar terjadi. Akan tetapi, sorotan berlebihan soal trah ini agaknya semakin menegaskan bahwa Prabowo memang sering ada di dua ekstrim.
Dan nampaknya ia cukup menikmatinya…
Cemerlang dan Jatuh di Militer
Prabowo Subianto adalah rekan seangkatan SBY dan Agus Wirahadikusumah di Akademi Militer Magelang.
Meski demikian, ia baru lulus dari Lembah Tidar setahun setelah mereka, yaitu pada tahun 1974. Sebagian besar karena perlu penyesuaian bahasa dan kebiasaan, karena ia lama tinggal di Amerika.
Ryamizard Ryacudu dan Sjafrie Samsoedin adalah rekan sekelulusannya yang kelak juga cukup banyak bersinggungan di percaturan pejabat militer.
Prabowo tumbuh menjadi prajurit berprestasi dan disegani di korps pasukan khusus Angkatan Darat. Ia terlibat dalam Operasi Seroja di Timor-Timur.
Karena kemampuan lapangan dan penguasaan bahasa, Prabowo disekolahkan ke Special Forces Officer Course di Fort Benning. Ini yang semakin memantapkan posisinya sebagai komandan pasukan raider baret merah.
Selepas itu karir militer Prabowo semakin cepat naik. Dari komandan Grup 3/Sandi Yudha (1993), Danjen Kopassus (1995) hingga hingga Panglima Kostrad (1998).
Meski banyak orang mengaitkan ini dengan statusnya sebagai suami dari Siti Hediati Hariyadi, putri presiden Soeharto, prestasi lapangan dan kejelian lobi Prabowo memang diakui oleh banyak prajurit.
Catatannya di militer bukan tanpa kontroversi. Di awal 1983 ia diisukan mengumpulkan kekuatan menentang dominasi Jenderal L. B. Moerdani di militer. Polemik ini tetap berlanjut sampai akhir karir militer Moerdani di 1988.
Kontroversi lain adalah terkait pelanggaran HAM yang dilakukannya selama operasi militer di Timor-Timur dan Mapenduma, Papua.
Puncaknya tentu saja, tuduhan penculikan aktivis dan kudeta yang membuatnya diberhentikan dari TNI pada 1998.
Atas semua isu ini, Prabowo mengaku menerima tuduhan dengan lapang dada. Dalam banyak kesempatan ia hanya menyatakan semua hal itu sebagai fitnah belaka.
Sebagai seorang yang besar dalam lingkungan modern dan demokratis, ia beralasan, tak mungkin dirinya sepicik itu terkait HAM dan hierarki militer.
Berayun di Gerindra
Langkah politik Partai Gerindra, yang didirikan Prabowo juga paling pas menggambarkan ayunan kontroversi tadi.
Harus diakui, sebagai partai yang digawangi ‘alumnus’ Golkar warna nasionalisme ala Orde Baru adalah salah satu ciri Gerindra.
Meski demikian, partai ini terbilang progresif, dalam manifestonya yang banyak mengutip jargon keluaran Presiden Soekarno. Juga keterbukaannya menampung sejumlah aktivis pro demokrasi.
Biarpun digerakkan begawan bisnis seperti Hashim Djojohadikusumo, adik Prabowo, Gerindra amat kencang menyerukan ekonomi kerakyatan. Hal yang membuatnya secara platform lebih dekat dengan PDI-Perjuangan, yang menjadi mitra mereka di Pilpres 2009 dan sepanjang periode kedua pemerintahan SBY
Yang lebih unik, narasi kebhinekaan dan kebangsaan yang begitu jelas terlihat di awal pendidiran partai, justru di dua pemilu belakangan bertaut dengan kekuatan konservatif keagamaan.
Apa sebenarnya warna Gerindra? Pertanyaan itu sepertinya analog dengan pertanyaan apa sebenarnya ideologi politik Prabowo?
Nampaknya jawaban paling pas saat ini adalah Gerindra, sama seperti Prabowo, memang menikmati berayun diantara banyak pihak kekuatan politik Indonesia. Terlepas itu disebut sarat kepentingan praktis, atau justru dinilai positif karena bisa cari dan merangkul.
Prabowo Subianto memang bisa saja bukan nomor satu di tiap sisi saat ia berayun. Namun, tak dapat dipungkiri dia tetaplah bintang di semuanya. **RS
Foto: Instagram/Prabowo