Katanya, traveling belumlah lengkap kalau tidak ada drama tersesatnya.
Tersesat, atau bepergian random tanpa melihat peta, tanpa tahu tempat tujuan, nyatanya memang menjadi kesenangan tersendiri.
Meski begitu, tidak sedikit juga yang beranggapan tersesat itu melulu buang-buang waktu dan energi.
Saya pribadi setuju bahwa tersesat memberi cerita tersendiri setiap kali traveling. Saya bisa dibilang cukup payah membaca peta atau petunjuk arah, jadilah setiap kali traveling pasti ada nyasarnya.
Untungnya, sejauh ini belum ada pengalaman yang tidak mengenakkan.
Cerita yang paling berkesan adalah waktu saya bepergian mandiri dengan dua teman ke Korea, pada musim gugur, Oktober 2016 lalu.
Ketika itu kami bertiga menuju kota Sokcho dari Gapyeong-gun, menggunakan bus malam. Rencana awalnya kami ingin menginap semalam saja agar bisa ke Gunung Seorak-san di paginya.
Bus yang kami tumpangi tidak memiliki keterangan Bahasa Inggris sama sekali. Kami hanya mengikuti petunjuk dari sebuah travel blog yang kurang update.
Supirnya tentulah tidak bisa Bahasa Inggris. Kami hanya berulang kali mengucapkan “Sokcho” dan “Seoraksan” sambil berharap ia mengerti maksud kami.
Kami sampai di Sokcho sekitar pukul 9.30 malam, setelah sebelumnya sempat hampir turun di perhentian yang salah dan masih sangat jauh dari tujuan kami.
Sialnya, begitu sampai, modem yang kami gunakan baterainya habis. Kami tidak bisa melihat peta secara live hanya bisa mengikuti peta yang sebelumnya dikirim oleh pemilik guesthouse.
Hasilnya nihil. Kami kesulitan menemukan guesthouse, walau sudah berkeliling hampir setengah jam.
Sokcho adalah wilayah pegunungan. Di musim gugurnya, suhu udara turun drastis saat malam. Toko dan restoran sudah banyak yang tutup, tidak ada yang bisa ditanyakan arah.
Kami pasrah menyeret koper di tengah udara dingin tanpa tahu arah. Akhirnya, nekat masuk ke satu restoran yang terlihat masih ada orang sedang makan.
Ternyata mereka adalah pemilik restoran dan sebenarnya sudah menutup jam operasinya. Mereka cukup berumur, tentu saja tidak bisa berbahasa Inggris.
Kami menunjukkan alamat dan peta guesthouse dengan wajah memelas, berharap mereka bersedia mengantarkan.
Tidak lama, dua orang pria paruh baya memakai jaketnya dan mendekati kami, menarik koper kami dan mengarahkan jalan kami keluar, menyiratkan mereka bersedia membantu.
Sepanjang jalan, kedua paman ini membawakan koper. Mereka antusias mengajak ngobrol walaupun kami sama-sama tidak mengerti ucapan masing-masing.
Tidak sampai seperempat jam, kami tiba di guesthouse. Berkali-kali kami berterimakasih kepada dua ahjussi yang sungguh baik hati ini.
Itu bukan satu-satunya ‘ketersesatan’ saya dalam travelling.
Saat berkunjung ke Hong Kong untuk duty trip, saya pernah sedikit tersesat, padahal hanya berjalan tak jauh dari hotel.
Tak mau panik, saya pun berjalan acak tanpa tujuan. Hingga menemukan petunjuk arah ke Victoria Harbour. Tak ada salahnya kesana, pikir saya.
Beruntungnya, saya malah berkesempatan menonton Symphony of Light di pelabuhan kenaamaan Hong Kong itu.

Paduan cahaya laser dan musik yang indah itu jadi hadiah nyasar yang tak diduga.
Di Hong Kong juga, saya pernah salah turun stasiun MTR. Malah menemukan restaurant yang menyajikan daging cincang kukus terenak yang pernah saya makan.
Tersesat tidak selalu buruk, bukan? **HW