Apa jadinya jika ada 269 konflik yang muncul secara bersamaan di akhir tahun 2015 nanti? Kericuhan? Krisis? Ketakutan? Bisa jadi semuanya dijawab “ya”. Eh, emangnya ada apa di akhir tahun 2015 nanti?
Buat kalian yang terlalu sering menonton sinetron, perlu diingat-ingat kalau di akhir tahun 2015 nanti akan ada pemilihan kepala daerah (pilkada) yang secara serentak dilangsungkan di 269 daerah. Ini adalah episode pertama dari rangkaian pilkada serentak di seluruh Indonesia, yang akan mencapai puncaknya di tahun 2027 mendatang—seluruh wilayah Indonesia secara bersamaan melaksanakan pilkada.
Belum juga dimulai, pilkada serentak ini sudah terlanjur melahirkan keriuhan tersendiri. Ada beberapa wilayah yang belum siap melaksanakan, ada lagi yang kekurangan calon kepala daerah—hal yang jarang terjadi, karena biasanya niat banget—hingga masalah konflik internal partai. Tapi sesungguhnya, yang perlu diwaspadai adalah ketika pilkada serentak selesai dilaksanakan, dan kemudian lahirlah sengketa antar calon kepala daerah.
Kewaspadaan ini perlu dijaga, karena dari sejarahnya, sengketa dalam pilkada menjadi pemicu masalah-masalah lainnya. Ketidakpastian pemimpin, kerusuhan yang melibatkan massa pendukung masing-masing calon, hingga berhentinya roda pemerintahan setempat. Tak jarang juga, kerusuhan yang diakibatkan sengketa antar calon kepala daerah ini meminta korban jiwa.
Masih segar dalam ingatan—atau sudah lupa?—kerusuhan pasca pilkada di Sumba Barat. Belum lagi di 9 wilayah lainnya seperti Palopo, Mojokerto, Probolinggo, Palembang, Sibolga, hingga Dairi. Kementerian Dalam Negeri sendiri sudah mencatat, kalau pilkada sudah ‘meminta’ 50 korban jiwa, mulai pelaksanaannya di tahun 2005.
Kalau semua dari 269 pilkada serentak nanti mengalami sengketa, kengerian akan kerusuhan wajar muncul dalam pikiran ini. Apalagi wilayah yang ikut serta dalam pilkada serentak Desember 2015 ini cukup menyebar di seluruh Indonesia. Sehingga bukan hal yang tidak mungkin, sengketa dan kerusuhan bisa merembet ke wilayah tetangganya.
Konflik horizontal antar para pendukung bisa jadi disebabkan karena calon kepala daerah yang tidak siap kehilangan kekuasaan, atau calon kepala daerah yang sudah tak tahan ingin merebut kekuasaan. Karena kekuasaan itu seperti candu, calon kepala daerah akan melakukan apa saja untuk bisa memastikan kekuasaan jatuh ke tangannya.
Karena itu, kita sebagai masyarakat yang perannya mencoblos, harus hope for the best, prepare for the worst. Mengedukasi diri dengan baik adalah bagian dari “hope for the best”, karena kita mengevaluasi calon kepala daerah yang memang memiliki kapasitas untuk memimpin, memiliki rekam jejak yang baik, dengan harapan dia akan mengubah tempat kita tinggal sedikit lebih maju.
Rekam jejak sendiri bisa dilihat dilihat dari hasil karya yang telah ditelurkannya. Bukan sekedar menjadi ketua di sini dan di situ, bukan sekedar menjadi penasehat di organisasi ini atau itu, tapi benar-benar memberikan sumbangsih bagi masyarakat.
Misalnya saja, peran sebagai ketua umum klub sepakbola setempat, tentu kurang bermakna dibandingkan mendirikan sekolah bagi anak yang tidak mampu. Kalau klub sepakbola setempatnya juara, mungkin lain cerita.
Sementara, untuk bagian “prepare for the worst” adalah kesiapan kita untuk memiliki data yang kuat jika terjadi sengketa dan akan bertarung di muka hakim—terutama soal kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif. Kalau hanya sekedar berdasarkan sentimen personal, mending tidak usah ikut-ikutan rusuh. Daripada kena lemparan batu, lalu geger otak. Yang rugi kita, sementara si calon kepala daerah duduk dengan santai di rumahnya yang mewah.
Jadi, kapan pilkada di daerahmu dilaksanakan? Siap bertarung?